Aku marah sekali dengannya. Kata-katanya seolah-olah menyamakan aku dengan orang lain. Dan lagi dia mengatakan kalau hal sepele ini tidak usah dipeributkan lagi. Sepele? Oke kalau itu maumu. Aku dengar kalimat itu rasanya seperti meledak kepalaku. Handphoneku sudah basah entah dari kapan airmata ini datang. Aku bingung. Apa aku yang terlalu perasa orangnya. Aku kesel sekali. Dari siang sudah cari gara-gara. Kata-katanya tajam sekali seperti cutter. Nusuk sekali. Membuatku terus berpikir letak kesalahanku dimana. Kalau bukan karena aku sangat menyayanginya aku tidak akan semarah ini. Perasaanku mulai tidak enak. Nafasku tidak beraturan. Pikiranku kacau sekali. Berpikir sana sini ga jelas. Mata sudah perih sampai kesulitan untuk sekedar membaca sms. Jadi ingat nasehat kakek studioku yang mengatakan berpikir banyak itu boleh tapi harus tetap pada pendirian. Sama seperti konsep struktur atap pada bangunan tradisional daerah sini.
Aku masih diam dikamar. Amarahku menurun perlahan karena tau dia juga merasa bersalah. Mengingat dia juga memiliki masalah lain yang juga harus dipikirkan. Masalahnya sebenernya sederhana tapi aku yang terlalu berlebihan dan dia yang terlalu malas memikirkannya dan menutup pembicaraan dengan kata-kata tidak enak. Tumbennya sehari ini dia mengatakan minta maaf hingga tujuh kali. Angka yang cukup besar menurutku. Dia orangnya realitis. Minta maaf pada waktunya. Dan tidak pernah mengatakan berlebihan. Kata maaf berkali-kali itu sudah cukup mewakili permintamaafnya. Walau sederhana berupa kata-kata, itu sudah sangat cukup bagiku. Itu karena aku sayang sekali padanya. ^^