Ada jalur perjalanan yang hampir selalu aku lewati untuk menuju ke rumah. Disana ada sesuatu yang cukup menarik perhatianku. Ada seseorang lelaki lusuh yang duduk di trotoar diseberang supermarket ternama. Rambutnya panjang kusut berantakan. Baju yang dikenakan sudah longgar dan terdapat robekan dimana-mana. Warnanya pun sudah tidak dapat dikenali lagi karena luntur akibat sinar matahari dan hujan. Tangannya selalu terulur ke orang-orang untuk meminta belas kasihan. Profesinya tak lain adalah seorang pengemis.
Aku sudah melihatnya sejak aku masuk ke bangku SD kelas 4. Aku pernah pulang dengan berjalan kaki dan melewati pengemis itu. Karena itulah keberadaan orang itu cukup membekas dalam ingatanku. Hingga sekarang, sudah 9 tahun lebih lelaki itu berada ditempat yang sama dengan baju yang sama dia kenakan ketika aku yang masih kelas 4. Mungkin karena kakinya yang lumpuh membuatnya sulit untuk beranjak dari sana.
Suatu hari aku pulang dari kampusku yang berada di Pusat Kota. Aku lewati jalan itu lagi. Dan tentunya melihat dia masih berada disana. Dengan pose yang sama seperti kemarin. Banyak pertanyaan yang berkecambuk dalam pikiranku. Dimana dia biasanya bermalam? Apakah dia mendapatkan makan yang cukup? Hal ini tidak dapat kubayangkan sebelumnya. Sinar matahari yang terik membuatku mempercepat kendaraanku hingga ke rumah dan melupakan apa yang baru kupikirkan.
Tepat 7 tahun yang lalu, aku dan keluargaku berkunjung kerumah teman Ayahku yang letaknya kebetulan dekat tempat pengemis itu berada. Saat itu aku disibukkan oleh urusan teman Ayahku itu dan melupakan mengenai pengemis itu. Setelah urusan selesai, kami bermaksud pulang. Tapi tiba-tiba hujan yang deras turun seenaknya. Teman Ayah langsung menyuguhkan teh dan meminta kami untuk diam sejenak disana hingga hujan berhenti. Kami tidak bisa menolaknya. Lagipula hari itu kami memang tidak mempunyai kesibukan lainnya.
Aku diam duduk dimeja dengan tangan menyangga wajahku. Pandanganku lurus ke arah luar ketempat hujan berada. Tiba-tiba aku langsung ingat mengenai pengemis tersebut. Segera aku lari keluar dan mengambil cepat payung yang ada. Aku berlari keluar dan melihat pengemis itu tetap berada diposisinya. Seperti patung. Dia tidak bergerak dengan posisi duduk. Aku hampir tidak dapat bernafas. Pemandangan ini hatiku bergerak. Air mataku menetes perlahan dan berbaur dengan air hujan. Aku perlahan mendekati lelaki itu. Perlahan. Dengan kaki terseret. Aku takut ternyata dugaanku tepat. Aku takut kalau ternyata benar lelaki itu telah meninggal. Rasanya tidak enak mengetahui dia telah pergi sebelum aku dapat melakukan apa-apa. Apa yang kulakukan selama ini? Hanya melihatnya dan pergi. Oh Tuhan maafkan hambamu ini.
Jarakku dengan pengemis itu hanya 20 cm. Lebar payungku dapat menjangkaunya dan membuat air hujan tidak mengenainya untuk sementara. Jarak ini membuatku cukup jelas melihat tubuhnya sedikit bergerak. Dadanya masih naik turun menandakan dia masih bernafas walaupun sangat pelan. Matanya yang semula terpejam kini terbuka perlahan-lahan. Dia menatapku dengan matanya yang berwarna abu-abu. Dia berbicara. Tapi aku sama sekali tidak dapat menangkap satupun kata-katanya. Dia hanya mengulang-ngulang sebuah kata. Mungkin sebuah nama. Dia membuka mulutnya dan mengucapkan sebuah kata lagi. Dan lagi. Aku seperti anak TK disana karena aku sama sekali tidak mengerti apa yang dikatakannya. Aku bermaksud membantunya tapi tidak tau harus membantu apa. Aku mengeluarkan uang yang merupakan uang sakuku yang terkhir dan memberikan kepadanya. Aku menaruh uang itu diatas telapak tangan lelaki itu dan menggerakkan tangan itu untuk menggenggamnya. Aku berkata,'Ini semua uang yang kumiliki, ambillah. Suatu hari jika aku sudah bekerja dan kakek masih disini aku akan datang kesini setiap hari dan memberi kakek makanan dan baju yang layak. Semoga kakek dilindungi sama Tuhan.' Aku berdiri. Dan dengan berat hari beranjak dari sana.
Setelah kejadian itu aku masih melihatnya disana terus menerus ketika pulang dari sekolah. Pulang dari kampus. Hingga sekarang.